sebuah cerpen, Wanita bersanggul
sekali lagi, saya mau berbagi sebuah cepen. karena mau berbagi uang juga nggak punya He... He....😁
dan nggak mau bertele-tele dan berlebay-lebayan seperti biasanya saya akan langsung kasih lihat cerpennya. Dan mohon mangap...eh, mohon maaf saya cari gambar yang sesuai susah banget, jadinya ya seadanya aja ya.....
lets go....
sekali lagi, saya mau berbagi sebuah cepen. karena mau berbagi uang juga nggak punya He... He....😁
dan nggak mau bertele-tele dan berlebay-lebayan seperti biasanya saya akan langsung kasih lihat cerpennya. Dan mohon mangap...eh, mohon maaf saya cari gambar yang sesuai susah banget, jadinya ya seadanya aja ya.....
lets go....
Kepalanya
sudah terasa berat, mata belonya beberapa kali menutup tanpa bisa di tahan,
tapi ia, wanita dengan rambut disanggul itu tak kunjung meninggalkan taman
untuk pulang dan tidur.
Apa ia
tidak khawatir dengan paras cantiknya yang akan mengundang pria bejat sepertiku
untuk mendekat. Anehnya, aku sudah berada di taman ini sejak satu jam yang
lalu, memandangi si wanita bersanggul. Tapi bukan rencana kriminal yang
tersusun di kepalaku, aku justru penasaran dengan apa rencana wanita itu di
sini. Dia pasti menunggu sesuatu yang sangat penting sampai enggan meninggalkan
taman walau sudah selarut ini.
Waktu kian berlalu, jam semakin mengundang bunyi binatang malam
untuk bernyanyi, udara dingin membungkusku dengan sempurna, ditambah dengan
nyamuk-nyamuk yang tak henti menyanyi dan menggingitku. Meski begitu, wanita
itu tak tepengaruh, ia seperti benda mati, sebuah patung yang mematung di kursi
taman. Sebenarnya, sudah 3 hari ini ia selalu berada di sana, rambutnya selalu
disanggul seperti sinden,lengkap dengan kebayanya. Orang mungkin akan berpikir
ia aneh atau pedagang jamu yang kesasar, tapi sebaliknnya ia justru menarik mataku, menarik perhatianku secara
diam-diam dengan sikap diamnya itu. Aku tak tahu siapa yang ia tunggu, apa
mungkin kekasihnya, pikiran itu justru membuatku kesal sendiri. Yang pasti
siapapun yang ia tunggu tak pernah datang.
Sekarang
ketika sudah menginjak pukul setengah 1 pagi tak ada siapapun di taman ini selain
wanita bersanggul dan tentunya aku yang masih setia mengintipnya karena
penasaran.
Wanita itu
kini mengeluarkan ponselnya dari tas, tampak kecemasan tersirat dari raut
cantiknya. Ia berdiri, aku memajukan kepalaku untuk melihat lebih jelas. Apa ia
sudah selesai, apa yang ia tunggu tidak datang lagi? Tapi baru beberapa langkah
berjalan wanita itu berhenti, urung dengan niatnya dan kembali duduk di kursi.
Kembali,
ia mengeluarkan ponselnya,
“Halo ‘’ dia sedang menelfon seseorang….
“Aku takut” Suaranya mengecil, tapi cukup
untuk bisa kudengar.
Apa yang
ia takutkan? Kalau pun ia takut pada sesuatu atau seseorang kenapa ia tidak
pulang saja, taman ini bukan tempat yang aman untuk berlindung.
“Bagaimana jika ada yang melihat?’’
Sudah
jelas. Ini sesuatu yang rahasia. Rasa penasaranku semakin tinggi, aku tak akan
meninggalkan taman ini sampai tahu apa yang terjadi.
“Aku takut, aku…” mulutnya menutup, terkatup
rapat. Ponselnya turun perlahan, tebakanku, seseorang di ujung telepon sana
sudah menutup telepon tanpa membiarkan wanita itu menyelesaikan kalimatnya. Melihat
gerak-geriknya, aku merasa iba. Wanita itu sedang ketakutan, beberapa kali ia
meremas ujung bajunya. Aku juga melihat sepertinya ia mencoba menelfon kembali
orang tadi, tapi selalu tak diangkat.
Menjelang pukul 1 pagi, tiba-tiba wanita itu
mengangkat kepalanya, tegang, matanya tertuju pada satu arah. Ada seseorang
yang muncul dari sana. Wanita bersanggul itu menelan ludah, gugup tergambar
jelas.
Baca juga : LEE (Cerpen)
Baca juga : Makna cerpen "dia yang tak bicara"
“Maaf sudah membuatmu menunggu” Seorang
wanita paruh baya dengan bayi di gendongannya menyapa wanita itu, senyumnya tak
menunjukan kewajaran, menurutku mereka berdua sedang menyimpan ketakutan yang
sama. Sebelum berbicara lagi wanita dengan bayi di gendongannya menatap
berkeliling, membuatku harus mundur beberapa senti.
“Apa katanya?”
“Masih kurang 3” wanita bersanggul menjawab.
Mata belonya mengintip bayi kecil yang tertidur pulas.
“Dari mana kita mendapatkannya? Aku tidak
tahu lagi” si wanita dengan bayi di gendongannya berkata dengan nada putus asa.
“Aku tak tega” wanita bersanggul mengusap matanya
dengan punggung tangan, punggungnya sedikit bergetar, apa ia menangis?
“Aku juga”
Selama
beberapa saat suasana menjadi hening,
aku sudah dipenuhi dengan pertanyaan yang semakin banyak tanpa menemukan
jawaban. Rasanya seperti sedang menonton film misteri. Keheningan dan kegelapan
di taman itu tiba-tiba membuatku sedikit merinding, tapi mataku tak bisa lepas
dari si wanita bersanggul. Sungguh, sedari tadi aku mengaggumi kecantikannya.
Dan memang itulah yang awalnya membuatku penasaraan, ditambah dengan tatapan
ketakutannya, seakan ia meminta bantuan padaku.
Akhirnya hening
itu berakhir dengan si wanita bersanggul menerima bayi dari si wanita paruh
baya. Ia mengambilnya dengan hati-hati sembari menimangnya. Setelah saling
tatap dan mengangguk mereka berdua berpisah. Si wanita paruh baya berjalan
menuju kegelapan dan entah ke mana sementara si wanita bersanggul dengan
langkah terburu-buru membawa bayi itu menjauh, keluar dari taman. Aku pun mengikuti
wanita itu.
Ke mana ia
akan pergi setelah 3 hari mennunggu…?
Ketika
hampir sampai di jalan raya, tiba-tiba wanita itu berhenti, kemudian ia berbalik
dan kembali masuk ke dalam taman. Di dalam taman itu ia menagis sesenggukan,
menciumi bayi di pelukannya berulang-ulang. Melihat pemandangan itu, aku jadi
ikut terharu, apa yang sebenarnya sedang terjadi?
“Jangan lagi… aku tidak bisa lagi…’’ begitu
isaknya. Ia berlutut di tanah, seakan mau pingsan.
“kalian begitu polos, tak berdosa, bagaimana
aku bisa membunuh kalian”
Membunuh.
Kata itu,
membuat darahku berdesir ngeri. Apa kejadian ini melibatkan sebuah pembunuhan?
Wanita bersanggul itu, apa ia pembunuh?
“Tolong aku, tolong… tolong mereka’’ wanita
bersanggul menangis semakin dalam, ia begitu menderita. Dipeluknya bayi itu
makin erat, seakan-akan itu anaknya. Atau mungkin itu memang anaknya….
Lalu
dengan mengejutkan, wanita itu menarik sanggulnya hingga terlepas. Melemparnya
ke tanah, tak cukup sampai di situ ia menginjaknya dengan amarah dan tangisan.
Rambut aslinya panjang dan hitam, terurai berantakan.
“Aku tak peduli, aku akan menyelamatkanmu” Bisiknya
pada si bayi yang masih pulas. Ia kembali melangkah terburu-buru, menoleh ke
belakang entah sudah berapa kali. Airmata masih tak mau kering dari wajahnya.
Bahkan ketakutan yang sedari tadi terlihat, semakin jelas.
Aku
berlari dari balik pohon ke pohon lain, menjaga tubuhku tetap dalam kegelapan.
Wanita itu masih terus berlari, berlari seperti orang kesetanan.
Entah dari
mana datangnya tiba-tiba saja 2 orang lelaki sudah mengejar wanita itu. Aku hampir
keluar dari persembunyianku, tapi aku masih penasaran dengan kelanjutan cerita
ini.
“Berikan!!” salah satu dari mereka berkata.
Wanita itu
menggeleng, memeluk si bayi makin lekat.
“ini perintah”
Suasana
semakin mencekam. Si wanita masih tak mau menyerahkan bayi itu, ia hanya terus
melangkah menjauh, gemetar, dan ketakutan. Aku begitu tak tega melihatnya, tapi
juga ragu untuk menolong. Bukankah aku juga bejat, kenapa aku harus
menolongnya.
Plakk
Sebuah
tamparan mendarat di wajah wanita itu. Itu tersungkur ke belakang, merintih
namun tak mau merenggangkan gendongannya pada si bayi.
“Berikan sekarang juga!!”
Kelihatannya
mereka tak mau membuaat si bayi menangis, jika tidak kenapa mereka tak
mengambilnya dengan paksa. Si wanita tetap kukuh melindungi si bayi.
Plakk….
Sebuah
tamparan lagi, lebih keras dari sebelumnya. Aku berkeringat di tempatku,
kebingungan antara tetap bersembunyi atau menolong wanita itu. Kutatap wanita
itu lamat-lamat, aku tak suka dengan ketakutannya, terutama di saat seperti ini,
ia terus menempelkan ketakutan itu di wajahnya. Ke dua pria itu menyudutkan si
wanita, lalu dengan kasar salah satu diantara mereka menarik rambutnya sampai
wanita bersanggul itu meringis kesakitan. Aku tak tega melihatnya, ia wanita
baik-baik, aku tahu itu.
Tangan si
pria melayang lagi, dan si wanita memejamkan matanya, tapi…
Sebelum
tamparan ketiga terjadi, aku lebih dulu melompat dan memukul mereka dari
belakang. Masih terbersit pertanyaan di benakku, kenapa aku melakukan semua
ini? Berkelahi demi menolong seseorang, padahal selama ini aku berkelahi untuk
menyakiti seseorang.
Beberapa pukulan
membuat aku terjengkang dan merasakan nyeri, aku tahu mereka adalah orang-orang
terlatih. Melawan mereka pasti sia-sia. Sekali lagi mereka memukulku dan aku
hanya menangkisnya. Badanku sudah terlalu lemah, kepalaku berkunang-kunang.
Pukulan demi pukulan terus menerjang tubuhku. Aku melirik si wanita bersanggul
dan dalam gerakan cepat aku menariknya dan membawanya berlari menjauh, secepat
mungkin.
Tangannya
dingin, tapi kakinya bergerak sangat cepat .
Baca juga : Aku lelaki yang kau tinggalkan (cerpen)
Sesuatu
yang panas menembus punggungku, tapi aku tetap berlari, berteriak menuju jalan
raya, meminta tolong. Pandanganku semakin mengabur. Anehnya yang kupikirkan
bukan aku takut akan mati, tapi aku mencemaskan wanita dan si bayi itu. Mungkin
aku sudah gila karena melakukan tindakan baik, dan mungkin aku akan segera
mati. Setidaknya aku sudah meninggalkan sedikit kebaikan jika memang harus
mati. Tak lama kemudiaan semua menjadi gelap.
Wanita
bersanggul itu bernama bulan, nama yang cantik seperti orangnya. Ia seorang
dokter bedah dan Ia bukan pembunuh, tapi
ia memang membunuh bayi-bayi itu untuk diambil organ tubuhnya. Semua itu atas
perintah seseorang yang telah menawan keluarganya selama 2 tahun teraakhir ini.
Dari hasil penyelidikan, wanita itu sudah terlibat dalam penjualan organ tubuh
manusia daan ia mengakuinya dengan jelas.
Apa aku
mati? Jawabannya tidak, setelah wanita bersanggul dan si bayi selamat, aku dirawat
di rumah sakit selama beberapa hari karena 2 luka tembak di punggugku,
untungnya tidak mengenai jantung.
Sejujurnya,
aku ini seorang buronan. Seperti yang selalu aku akui, aku adalah pria bejat.
Merampok, mencuri, bahkan membunuh, aku sudah pernah melakukan itu semua. Masa
laluku kelam, apalagi masa depanku. Intinya aku adalah orang jahat, harusnya
jika aku tertangkap maka aku akan dipenjara selama 15 tahun lebih atau bahkan
hukuman mati yang akan disambut gembira oleh para warga kota, tapi karena aku
telah membantu membongkar sindikat pejualan organ tubuh manusia itu, maka aku
dibebaskan dengan beberapa syarat.
Sungguh
ajaib bukan….
Yang lebih
ajaib lagi…
Ketika aku
membuka mata pertama kali, orang yang ada dihadapanku adalah wanita bersanggul
itu, tapi rambutnya tak disanggul, ia menggerainya. Matanya menatapku, dan aku
menerima seulas senyum yang begitu indah.
“Terimakasih” bisiknya.
Tamat
Akhirnya selesai juga, kayaknya saya dulu pernah kirim cerpen ini ke media, tapi nggak ada kabar. ya sudahlah memang mungkin lebih baik di taruh di sini aja ya....
semoga kalian menikmati dan kenapa hari ini pembukaan dan penutupannya simple banget? karena si penulis lagi sakit kepala sob. Jadi maklumi ya....
Bahkah mau BW pun belum sempet.
Sekali lagi im sorry ya😁🙏
see you....
semoga kalian menikmati dan kenapa hari ini pembukaan dan penutupannya simple banget? karena si penulis lagi sakit kepala sob. Jadi maklumi ya....
Bahkah mau BW pun belum sempet.
Sekali lagi im sorry ya😁🙏
see you....
Kerennnn. Sampai hanyut terbawa ceritanya
BalasHapusHe..he.. Makasih mbak😁
Hapus